Bagi khalayak islam terutama di tanah Jawa, sosok Sunan Kali Jaga tentulah familiar karena beliau adalah salah satu Wali yang begitu terkenal. Beliau berpengaruh terhadap keislaman di Jawa dan perannya dalam penyebaran Islam di Jawa. Namun perlu diketahui bahwa sosok Sunan Kali Jaga mempunyai banyak nama di setiap tempat penyebaranya. Arti kata Kali Jaga sendiri bisa berarti beliau adalah pertapa yang tempat semedinya menyusuri aliran sungai, Kali juga adalah salah satu nama sungai di Cirebon, Kali di sini juga dapat diartikan sebagai Dewi Kali atau Dewi Bumi atau Ibu Pertiwi. Setiap Wali Songo mempunyai peranannya masing-masing sebagai penyebar agama Islam. Sunan Kali Jaga disini berperan sebagai konduktor, yakni bagaimana Islam bisa diserap oleh masyarakat Jawa dengan latar budaya yang sedemikian rupa. Hasilnya adalah beliau membuat ajaran Islam yang diakulturisasi dengan tembang dan wayang kulit tentu dengan transendensi antara Jawa dan Islam itu sendiri. Berikut admin sajikan jurnal tentang Kidung Rumekso ing Wengi yang berjudul Tuwajuh Jroning Ati. Jurnal ini sempat menjadi bahan diskusi di Pendopo Percetakan Buku Ifada (IG @buku_ifada) pada malam Jumat 3 Agustus 2017.
Tuwajuh Jroning Ati:
Ngalap Berkah dari Kidung Rumekso Ing Wengi
By: Nur Khalik Ridwan
(Makalah disampaikan dalam Diskusi Mingguan Ifada, Seri Kajian Para Wali Jawa)
Namanya adalah Kidung Rumekso ing Wengi (KRiW), berdasarkan Serat Suluk Jaman Keraton Ndalem ing Surakarta. Saya mendasarkan dari apa yang ditransliterasi oleh Nancy K. Florida yang telah dicetak tahun 1984, dari teks aslinya yang tersimpan di Perpusatakaan Sasono Pustoko dengan kode, No. 24, SMP-KS 481, Real 151/8. Judulnya: Suluk, The Mystical Poetry of Javanese Muslims. Usaha Nancy K. Florida itu kemudian oleh IAIN Sunan Kalijaga diterjemahkan tahun 1988/1989.
Beberapa pembaca dan pengamat, di antaranya B. Wiwoho dalam buku yang diterbitkan IIMan dan membahas KRiW, menamakan KRiW dengan Suluk Kidung Kawedar, yang terdiri dari 45 bait.
KRiW ini ditulis berbentuk tembang Macapat dalam Dhandanggulo. Dhandang artinya pengarep-arep, sehingga bermakna dan dimaksudkan oleh sang pengarangt dengan pengarep-arep yang baik dan manis, dengan memiliki 10 larik. Versi transliterasi Nancy K. Florida terdiri dari 44 bait, yang perincian isinya begini: bait 1-5 berisi kidung yang sering beredar dan dilantunkan sebagai Kidung Rumekso ing Wengi, mulai dari Ana Kidung Rumekso Ing Wengi… sampai Sumsumku Patimah linuwih… (bait 5); bait 6-10, berisi fadhilah dan keutamaan mewiridkan Kidung dalam bait 1-5, bila diwiridkan 20 kali sehari di malam hari dan keutamaan tirakatan 40 hari.
Sedangkan bait 11-28, berisi kidung dimulai dengan Ana Kidung Atembang Ngartati… (bait 11) sampai Siyang Ndalu Rinekseng Hyang Widhi… (bait 28); bait 29, berisi fadhilah mewiridkan kidung di bait 11-28; bait 30-37, berisi kidung yang dimulai dengan Ana kidung sun angidung wengi… (bait 30) sampai Yen lumampah ingkang wingwrin… (bait 37); bait 38, berisi fadhilah mewiridkan kidung di bait 30-37; bait 39-41, berisi kidung yang dimulai Ana kidung ing kadang maramarti… (bait 39) sampai Mangkya kadang ingsun kang umijil… (bait 41), yang bersisi sedulur papat limo pancer kakang kawah adi ari-ari; dan bait 42-44, berisi fadhilah kidung dan tatacara nylameti sedulur papat limo pancer kakang kawah adi ari-ari.
Jadi, Kidung Rumekso Ing Wengi itu memiliki beberapa kidung (kurang lebih 4 kidung inti) dan selainnya adalah penjelasan-penjelasan. Akan tetapi yang sering dipakai dan dikutip adalah bait 1-5.
Disusun di Kalijogo
Penyusun kidung ini, adalah Sunan Kalijaga, salah seorang anggota Dewan Wali Sanga yang di semua versi penyebutan sumber selalu disebutkan sebagai anggota. Sang Wali, dikenal sebagai peletak dasar Islam Jawa bersama mertuanya Syaikh Siti Jenar, Datuk Abdul Jalil, yang berakar di selatan bagian tengah pulau Jawa, dan menjadi guru dari para bangsawan Demak, Pajang dan Mataram Islam Jawa di periode awal.
Sunan Kalijogo ini berdarah Arab dan Jawa. Dia adalah menantu sekaligus murid dari Syaikh Siti Jenar, Datuk Abdul Jalil; sementara guru lainnya adalah Sunan Bonang. Dari Sunan Bonang, Sunan Kalijaga menerima tarekat Syathariyah; dan dari Syaikh Siti Jenar menerima tarekat Akmaliyah (Agus Sunyoto, Walisongo, hlm. 148).
Nama sang wali sering berganti-ganti, seperti disebutkan di bait 11 KRiW, yaitu Kyai Artati, Wisamarti, dan Ismail: “Siapa yang mengetahui namaku? Sewaktu aku berada di tanah datar dan sewaktu aku berada di gunung; Kyai Artati dan Wisamarti, berganti nama tiga kali, perbendaharaan dan daya kekuatan kata-kataku. Namaku ketika jejaka maka bernamakan Ismail, berada di tengah-tengah dunia.” Namanya yang lain, sebagaimana disebut Agus Sunyoto, ketika Sang Wali menjadi dalang, yaitu: Ki Dalang Seda Brangti, Ki Dalang Bengkok, Ki Dalang Kumendung, Ki Unehan (hlm. 145), dan Lokajaya (hlm 144).
Tempat penulisan kidung disebutkan di bagian bait ke-10, dengan menyebutkan ketika memberikan fadhilah dan keutamaan membaca kidung ini, lalu mengatakan begini: “Tumrah sanak rayatira. Saking sawabing ngilmu pangiket mami. Duk aneng Kalijaga” (bait 10). Artinya: “Bahkan memberkahi pada kerabat dekatnya. Lantaran sawabnya ilmu yang kususun sewaktu berada di Kalijaga.”
Nama Kalijaga ini, adalah tempat, yang menurut Babad Demak dan dikutip Agus Sunyoto (hlm. 144), adalah nama tempat di Cirebon, sebagai tempat untuk mengawali dakwahnya dengan menyamar ke Indramayu dan Pamanukan: “Raden Sahid kinon ngimani/ing Dermayu lan Manukan/ing Kalijogo pernahe.” Perjalanan ke Cirebon ini, ditafsirkan Agus Sunyoto, dalam rangka mengikuti Syaikh Siti Jenar Datuk Abdul Jalil.
Di Kalijogo ini diceritakan, Raden Sahid melakukan tirakat atau uzlah selam 3 bulan, sampai memperoleh pengalaman spiritual dan kedekatan dengan Gustine, dan memperoleh pengikut yang banyak. Di Kalijaga juga, diceritakan Babad Cerbon, Raden Sahid tinggal beberapa tahun di Desa Kalijaga, mulanya menyamar menjadi pembersih mesjid, hingga bertemu Sunan Gunungjati, dan menikah anak Syaikh Datuk Abdul Jalil, Syaikh Siti Jenar. Dari pernikahan ini, melahirkan Watiswara ( Sunan Panggung), dan 2 orang perempuan. Lalu dakwahnya berjalan ke timur sampai ke Majapahit, dengan media wayang dan berbagai kreativitas kebudayaan lain.
Strategi Memasukkan Nilai-Nilai Islam di Tengah Masyarakat
Di dalam KRiW, Sunan kalijaga menyebut Tuhan dengan Hyang Widdhi, Hyang Suksma, dan Pangeran. Akan tetapi sekali menggunakan kata dan memasukkan istilah rahmatullah (bait 35), merujuk kepada Alloh. Sekali menggunakan paduan Arab-Jawa, yaitu istilah, Qulhu Balik yang sakti, sehingga memperkenalkan dalam alam pikiran Jawa, istilah-istilah Islam bergandengan serasi dengan istilah yang sudah dulu berkembang di kalangan masyarakat Jawa. Tetapi secara umum KRiW, memakai bahasa Jawa.
Selebihnya beberapa kosakata Arab Islam yang dimasukkan dalam kidung, di antaranya istilah-istilah: Jin-setan (bait 1, 25, 29), iblis (bait 29); Malaikat, rusul, Adam, Sis, Musa (bait 3); Nafas, Yakub, Yusuf, Dawud, Sulaiman, Ibrahim, Idris, Sayyid Ali, Abu Bakar, Umar, Usman (bait 4); Siti Fathimah, Siti Aminah, Ayub, Muhammad, Nabi, Wali (bait 5, dan 29); Dzate, jimat (azimat) (bait 9); Insya Alloh, rayatiro (rakyat), dan ilmu (bait 10); Ismail (bait 11); Jibril, Ijrail, Israfil, Mikail, sabar (bait 25); Tuwajjuh (bait28); Malaikat Munkar, malaikat Nakir, rijal (bait 31); Ayat Kursi, Surat Amam (bait 32); Baitul Muqaddas, sayyidina Hamzah (bait 33); Rahmatullah, Rahmat, Wali Jasmani (bait 35); Sipat Rahman (bait 36); Makdum Sarpin (bait 43); dan doa majmu (bait 43).
Dengan memperkenalkan KRiW ini kepada murid-muridnya sebagai Kidung dan diwiridkan, Sunan Kalijogo termasuk wali yang memperbolehkan penggunaan bahasa lokal untuk memuji Alloh/dzikir.
Tuwajjuh Jroning Ati/Qalb
Sunan Kalijogo menyebutkan di bagian terakhir bait ke-28, dengan kata-kata “Kang ngasimpen tuwajuh jroning ati”, atau tersimpan sifat tawajjuh dalam hati. Kata ini adalah istilah teknis yang ada dalam tarekat, bermakna “menghadapkan diri kepada Alloh”. Dalam pengertian lain, menghadirkan cahaya Alloh dalam hatinya terus menerus. Istilah tuwajuh atau tawajjuh itu dalam sebagian tarekat dilakakukan dengan dzikir sirr, merasakan asma Alloh di dalam hati, yang menjadi wasilah cinta dan rindu kepada Alloh, sehingga ketika diijabahi, akan memperoleh limpahan-Nya berupa haibah, penglihatan batin dan pendengaran batin.
Hal ini dapat dimengerti karena Sunan Kalijaga, memperoleh pengajaran tarekat Akmaliyah dari Sunan Lemah Abang, Syaikh Datuk Abdul Dalil; dan Syathariyah dari Sunan Bonang. Akmaliyah yang dilakukan Syaikh Datuk Abdul Jalil, menurut kajian yang dilakukan salah seorang tokoh Akmaliyah, KH. Muhammad Sholihin, bersumber dari Syaikh Ahmad al-Ghazali, yang ke atas sampai kepada Imam al-Junaid al-Baghdadi, dan ke atas adalah Sirri as-Saqati, memperoleh dari Ma’ruf al-Karkhi, yang memperoleh dari dua cabang: dari Anas bin Malik dan Ali bin Abi Tholib (KH. Muhammad Sholihin, hlm. 295-297); dan jauga lewat jalur Muhammad Bahaudin an-Nasyabandi lewat Abdurrahman Jami, yang juga mewarisi Ibnu Arabi.
Dari sudut itu, dapat dikatakan kidung ini adalah buah dari laku tirakat tarekat yang telah dijalani Sunan Kalijogo, untuk dijadikan jimat dikalangan masyarakat Islam Jawa dalam menghadapi kehidupan saat itu, seperti dikatakannnya sendiri: “Saking sawabing ngilmu pangiket mami. Duk aneng Kalijaga” (bait 10), yang menunjukkan hasil tirakat itu, dapat mendatangkan sawab dan berkah. Korelasi isi Kidung dan fadhilahnya bagi sang pengamal, dengan kehidupan saat itu digambarkan dalam isi di bait-bait Kidung, yang mencerminkan tantangan yang dihadapi masyarakat Islam Jawa.
Oleh Sunan kalijaga dunia pada zamannya digambarkan banyak bencana, banyak makhluk ghaib jin setan, prewangan, tenung, hama, guna-guna, binatang buas, bisa hewan, dan mantra-mantra yang beredar. Ihtiar batin untuk menghindarinya agar memperoleh kebaikan, melawan dan menolaknya, adalah dengan Kidung ini, yang didalamnya memperkenal ingat menyatu dengan Hyang Widhi, Hyang Sukma, dan rahmatulloh; dengan wasilah para Nabi, para wali, untuk menjangkau kedekatan kepada Alloh dengan istilah “tuwajuh sajroning ati”; untuk menghidupkan hati menjangkau alam malakut dan Nur Muhammad.
Inti dari Kidung, menjelaskan soal perlunya kesadaran hati dengan tawajjuh kepada Alloh. Hal ini dipertegas lagi dengan penggunaan kata qalbu dalam rangkaian kidung ini beserta sabar dan nerimo, yaitu bait ke-27, yaitu ketika menjelasksan fungsi dan tugas malaikat Israfil: “Israpil dadi damar. Padang jroning kalbu.” Artinya: “Israfil menjadi lampu menerangi dalam kalbunya.” Penjelasan tentang qalbu disertakan bersamaan dengan penjelasan para malaikat lain, yang mengisyaratkan, telah dibukakannya sang pengarang Kidung ke dalam pintu-pintu alam malakut, lewat jalan kesadaran qalbu; sampai-sampai mengetahui tugas-tugas malakat yang disadari terus berlangsung.
Dalam dan dengan kesadaran qalbu itu, maka diketahui, menurut KRiW di bait ke-27: “jabarail ingkang animbali/mulaniro ketetepan iman/dadi angandel atine/ngijraile puniku/kang rumekso ing pati urip/israpil dadi damar/padhang jroning kalbu/Mingkail kang ngasung sandang/lawan pangan enggale katekan kapti/sabar lan anarima. Artinya: “Jibril yang memaggilnya/oleh karenanya dianugrahi iman/jadi pegangan hatinya/Ijrail itulah/yang memelihara hidup dan mati/Israfil menjadi lampu/menerangi dalam kalbunya/Mikail yang memberi makan/dan pakaian, segera tercapai kehendaknya/bersifat sabar dan nerima-tawakkal.”
Meski istilah qalbu banyak disebut Al-Qur’an, tetapi penggunaan teknis, dan penyelamannya banyak dibicarakan oleh ahli tasawuf dan ahli tarekat. Dalam kacamata Sunan Kalijaga, lewat kesadaran qalbu, disebutkan bahwa tugas-tugas malaikat itu masih terus berlangsung dan berhubungan dengan kita. Hal ini, juga berhubungan dengan penjelasan tentang “Sedulur papat limo pancer kakang kawah adi ari-ari”, yang telah menyatu dalam diri kita, dan disebutkan di bagian akhir rangkaian kidung ini.
Lewat kesadaran qalbu juga, malaikat-malaikat itu tetap berfungsi atas hidup kita menjalankan titah ilahi, yang dalam gambaran Sunan Kalijaga tadi, di bait ke-27 disebutkan begini: “Penjagaan para malaikat juga akan diberikan kepada orang-orang yang dilindungi Alloh dan dekat dengannya”; dan tercermin dari kalimat terakhir di bait ke-26: “Yang dikehendaki datang, Dan dijaga para malaikat”: “myang pangarasa/kang sedyo tumeko napi/pangreksaning malaikat.”
Penjangkaun terhadap alam malakut itu, menggambarkan dan menyiratkan penilikan ke dalam hati di mana tawajjuh harus dilakukan oleh seorang agar memperoleh kebahagiaan batin dan tersambung dengan Pangeran. Oleh karena itu, dengan KRiW ini, yang merupakan hasil rangkaian tirakat, mengajak orang untuk ingat kepada Alloh, menjangkau alam malaikat, bersambung dengan Nabi Muhammad yang disebut nabi terakhir oleh KRiW ini, menuju kebahagiaan lahir batin, dengan bahasa lokal dan campuran Islam-Arab.
Penggunaan tradisi lokal dan Arab, diperkuat dengan penggunaan istilah Qulhu Balik, tradisi ilmu yang dimulai wiridnya dengan Qulhu, lalu ditambah dengan kalimat-kalimat lain; ayat kursi dan hatinya surat Am`am, yang menyiratkan prengetahuan ma’rifat sang pengarang terhadap rahasia-rahasia Qulhu Balik, Ayat Kursi dan Surat Am`am, yang berinti pada “tuwajuh jroning ati.”
Dadya Sarira Tunggal
Ungkapan-ungkapan dalam bait kidung menandakan di dalam KRiW, bahwa kualitas-kualitas spiritual dari berbagai pertemuan ruhani, disebutkan telah masuk ke dalam diri Kanjeng Sunan, dengan mengatakan: “Sampun sangkep sakathahing nabi wali/dadya sarira tunggal”; “Telah lengkap tercakup dalam diriku segala nabi dan wali/telah manunggal pada diriku.” Ungkapan ini menjelaskan kualitas spiritual yang diraih dan dikhabarkan lewat sejenis Kidung.
Ketunggalan itu dalam KRiW tidak dihubungkan dengan Alloh sebagai Dzat, tetapi dengan segala nabi wali, dan orang-orang sholih, sampai pada Nabi sang penutup, dalam kata-kata yang lain: “Dudur mayengi ayyatul kursi/hatinya surat Am`am/pangleburan lara kabeh/usuk-usuk ing luhur/ingaranan telenging langit/nenggih Nabi Muhammad/kang wekasan iku/atunggal latri lan siyang.” Artinya: “Dudur landainya ayat kursi/lunggahe Hatinya surat al-An`am/penghancur segala penyakit/rusuk atapnya dinamkakan tengah langit/Dan Nabi Muhammad akhir para Nabi/mengawal siang dan malam.”
Hal itu menandakan para nabi wali, dan orang-orang sholih, sampai berakhir pada kanjeng Nabi Muhammad sang Nabi peutup, begitu disebut Sunan Kalijaga, menyatu dalam diri sang wali. Hanya saja bentuknya seperti apa tidak dijelaskan. Cukup dengan kata-kata “dadya sarira tunggal.” Penjelasan sosal ini dengan sendirinya harus mencari bantuan dalam penjelasan-penjelasan tarekat dan tasawuf, atau ilmu bathin dari para guru yang mengungkapkan itu; dengan menghubungkan kata dan istilah tuwajuh jroning ati, di dalam tradisi suluk Sunan kalijaga itu. Sebab tidak mungkin juga hal seperti itu diungkapkan dalam sebuah Kidung, yang dimaksudkan juga sebagai doa.
Hal yang hajat difahami kemudian adalah, orang bersuluk bisa dari dua jalan: salik dan majdzub. Salik menghendari wiridnya menuju tuwajjuh jroning ati, kepada dan bersama cahaya Alloh, yang secara teknis disebut wushul; dan majdzub yang dibukakan pada kapasitas wushul, lalu bersuluk dan berdzikir untuk membersihkan kalam-kalam dan penglihatan yang belum bisa manunggal. Hasil dari akhir keduanya adalah hidupnya hati sebagai wadah cahaya Alloh, yang memancar lewat Nur Muhammad, malaikat-malaikat, jin, dan sejenisnya dari keanekaragaman alam arwah, sampai hati bersih bisa menampung cahaya Alloh itu, yang bentuknya: pendengaran atas kalam di alam batin yang menjadi tunggal; dan penglihatan hati atas realitas batin di berbagai alam yang mencerminkan pengalaman spiritual.
Realisasi dari kalam di alam batin yang tunggal itu, berarti seseorang yang mengalaminya telah diberkahi dengan penyatuan kesaksian, di mana semua guru-guru di dalam rantai tarekat dan semua guru-guru yang dimintai berkah, menyatu kapasitasnya dan akan berakhir pada Nur Muhammad sebagai ujung pada rantai terakhir. Bila penyatuan ini diberkahkan Alloh kepada seseorang, maka seseorang akan hidup mendengar kalam yang konstan itu, yang hidupnya dan makananya adalah sholat daim/dzikir daim.
Dadya sarira tunggal, menghantarkan ia menjadi manusia yang telah mati tetapi hidup, hidup tapi mati; manusia batin tetapi dhahir, manusia dhahir tetapi juga batin; menyatu dengan malakut tetapi juga alam ajsam; beralam ajsam, tetapi juga beralam malakut. Dialah insan kamil, yang menjadi realisasi sifat, asma dan perbuatan kamal dan jalal Tuhan. Sunan Kalijaga dengan kapasitas-kapasitas spiritualnya, telah memberi kode itu dengan ungkapan dadya sarira tunggal, yang telah menyatu dalam dirinya.
Gambaran kalam tunggal konstan tetapi halus muncul dalam hati kita itu, seorang guru mengatakan kepada saya begini: “Aku Syaikh Abdul Qodir Jailani, Aku Habib Abdulloh, aku Abu Hamid al-Ghazali, aku Syaikh Abdullah Syathari, Aku juga Muhammad nabiyulloh, Aku ingsun sejatimu, aku jibril, aku mikail, aku israfil, aku ijrail, aku semuanya. Akulah wasilah memberi sakit, aku yang menjadi wasilah menyembuhkan, dan begitu seterusnya. Aku bukan Alloh, aku adalah Nur Muhammad.”
Suluk dengan Ngalap Berkah
Dalam bait ke-10 ada kata-kata begini: “Saking sawabing ngilmu pangiket mami”, menunjukkan ungkapan tentang kegunaan dan fadhilah dari Kidung ini bagi yang membaca dan mewiridkannya. Kegunaan itu disebutkan dalam bait-bait berikutnya, yaitu bait ke-10: “Barang siapa membaca, mendengar, dan menulis, serta menyimpan kidung ini, dirinya akan tampak bagus, bisa untuk memberi jampi-mantera. Bila hendak baca dan dihembuskan di air, untuk mandi, orang sakit jadi sembuh. Orang tua tampak muda, jejaka lekas dapat jodoh, orang gila menjadi sembuh gilanya” (bait ke-6).
“Bila ingin menanam padi hendaklah puasa dulu sehari semalam, putarilah pematangnya sambil membaca kidung ini, tentu tak ada hamba yang mendekat. Bila anda akan pergi berperang bacakan dan hembuskan pada nasi dan santapan, yang makan nasi itu akan dilindungi Tuhan dan selamat di medan laga” (bait ke-7).
“Bila Anda tidak dapat membacanya, gulunglah untuk azimat, akan mendapatkan keselamatan. Bawalah azimat itu ke medan laga, musuh tak akan melihatmu, segala senjata tak bisa mengenai anda, Itulah kasiyatnya. Semua perbuatan anda dilindungi Tuhan, yang menderita sakit jadi sembuh” (bait ke-8).
“Apabila ada orang ditawan, dan orang yang dihukum denda, serta terbeban banyak hutang, juga orang menderita sakit, bacakan kidung ini dan diulang-ulang sebanyak duapuluh kali. Insya Alloh yang ditawan akan dibebaskan, yang dihukum denda batal hukumannya, segala kesalahannya diampuni. Yang punya hutang akan dibayar oleh Tuhan, dan yang menderita sakit akan segera sembuh” (baik ke-9)
“Barangsiapa ingin menjalani tirakatan (topo), harap berpuasa mutih (makan tanpa garam), terus menerus empat puluh hari saja, bangun sewaktu subuh, berlaku sabar dan bersyukur dalam hati, insya Alloh terkabul segala yang dikehendakinya. Bahkan memberkahi pada kerabat dekatnya, lantaran sawabnya ilmu yang kususun sewaktu aku berada di Kalijaga” (10).
Dalam bait terakhir di atas ada penggunaan kata “Insya Alloh tinekan/Sakakrsanireku/Tumrah sanak rakyatiro/Saking Sawabing Ngilmu pengiket mami/Duk aneng Kalijogo” (bait 10). Dalam kata-kata itu, meski sebelumnya telah membicarakan Hyang widhi, para Nabi wali, malaikat, tetap diakhiri dengan kerendahan hati: Insya Alloh, semua tetap dikembalikan kepada Alloh.
Penggunaan kata sawab, dan yang mewiridkan atau ngrapal setiap hari akan mendapat sawabnya adalah, pengakuan Sang Sunan Kalijogo, bahwa KRiW bisa memberkahi bagi yang membacanya, menujukkan diterimanya dan dijelaskannya sebagai teori sawab atau nyawabi, mberkahi, bisa menjadi jalan memperoleh penglaman spiritual. Hal ini di dalam laku suluk, menggambarkan adanya sejenis laku yang mengaggap penting ngalap berkah, dengan perantaraan usaha-usaha tirakat yang dilakukan orang sholih. Bentukanya bisa nyarkub; silaturahmi kepada orang-orang tua dan guru-guru memohon doa; dan sejenisnya. Akan tetapi ngalap berkah sebagai jalan, selalu tidak berdiri sendiri, selalu dibarengi dengan wirid yang dilakoni sang salik.
Maka, membaca KRiW, menjadi penting bukan hanya kandungan kidungnya yang perlu diresapi untuk mempertebal iman dan percaya kepada Alloh, tetapi juga ngalap berkah dari tirakat yang dilakukan Sunan Kalijaga; atau ngalap berkah dari kemuliaan Sunan Kalijogo yang dekat dengan Alloh, agar apa yang diminta bisa terkabul. Semua akhirnya dikembalikan kepada Alloh, sampai-sampai Sunan Kalijogo menggarisbawahi dengan “Insya Alloh” (bait 10) dan “Pan rinaksa dening Hyang Kang Maha Suci/Semua perbuatan anda dilindungi Tuhan.” Semua dikembalikan kepada Alloh.
Terakhir, soal teknis, tapi penting, di dalam teks kutipan kidung KRiW tidak ada ungkapan “Kadi Kapuk Tibaning Wesi”, setelah Wedi asih pandulune, yaitu di bait ke-2, tetapi di beberapa kutipan yang beredar di internet, ada ungkapan itu. Kutipan-kutipan di internet yang beredar begini: “Welas asih pandulune/Sakehing brojoluput/Kadi kapuk tibaning wesi/Sakehing Wisa Tawa.” Sementara dalam bait di atas bait-baitnya berbunyi: “Wedi asih pandulune/Sakehing braja luput/Kira-kira pan wusakalir/Salwiring wisa tawa.” Wallahu a’lam.
Nur Kholik Ridwan
Lampiran Kidung Rumekso Ing Wengi, berdasarkan transliterasi latin dari Nancy K. Florida dari bait 1-5:
Ana Kidung rumeksa ing wengi
Teguh Hayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tenung tan wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Agni atemahan tirta
Maling ngadoh tan ana ngarah ing kami
Tuju duduk pan sirna
Sagung pancabaya pan samya bali
Sakathahing ngama amiruda
Wedi asih pandulune
Sakehing braja luput
Kira-kira pan wusakalir
Salwir ing wisa tawa
Sato krodha tutut
Kayu aheng lemah sangar
Songing landak guwaning wong lemah miring
Pakikipon ing merak
Pagupakaning warak sakalir
Nadyan ardha myang segara alas
Temahan rahayu kabeh
Sarwa sarira ayu
Ing ideran ing widadari
Rinekseng malaikat
Sakathahing rusul
Pan dadya sarira tunggal
Ati adam utekku baginda Sis
Pangucapku ya Musa
Napasku Nabi ngisa linuwih
Nabi Yakub Pmyarsaning wang
Yusup ing rupaku reke
Nabi Dawud Swaraku
Jeng Suleman kasekten mami
Ibrahim kang nganyawa
Idris ing rambutku
Sayid Ngali kuliting wang
Abu Bakar getih daging ngumar Singgih
Balung Baginda Ngusman
Sungsumku Patimah kang linuwih
Aminah kang babayuning ngangga
Ayub minangka ususe
Sakeh ing wulu tuwuh
Ing sarira tunggal lan nabi
Cahyaku ya Muhammad
Panduluku rasul
Pinayungan ngadam sarab
Sampun sangkep sakathahing nabi wali
Dadya sarira tungga
Sekian
Tuwajuh Jroning Ati:
Ngalap Berkah dari Kidung Rumekso Ing Wengi
By: Nur Khalik Ridwan
(Makalah disampaikan dalam Diskusi Mingguan Ifada, Seri Kajian Para Wali Jawa)
Namanya adalah Kidung Rumekso ing Wengi (KRiW), berdasarkan Serat Suluk Jaman Keraton Ndalem ing Surakarta. Saya mendasarkan dari apa yang ditransliterasi oleh Nancy K. Florida yang telah dicetak tahun 1984, dari teks aslinya yang tersimpan di Perpusatakaan Sasono Pustoko dengan kode, No. 24, SMP-KS 481, Real 151/8. Judulnya: Suluk, The Mystical Poetry of Javanese Muslims. Usaha Nancy K. Florida itu kemudian oleh IAIN Sunan Kalijaga diterjemahkan tahun 1988/1989.
Beberapa pembaca dan pengamat, di antaranya B. Wiwoho dalam buku yang diterbitkan IIMan dan membahas KRiW, menamakan KRiW dengan Suluk Kidung Kawedar, yang terdiri dari 45 bait.
KRiW ini ditulis berbentuk tembang Macapat dalam Dhandanggulo. Dhandang artinya pengarep-arep, sehingga bermakna dan dimaksudkan oleh sang pengarangt dengan pengarep-arep yang baik dan manis, dengan memiliki 10 larik. Versi transliterasi Nancy K. Florida terdiri dari 44 bait, yang perincian isinya begini: bait 1-5 berisi kidung yang sering beredar dan dilantunkan sebagai Kidung Rumekso ing Wengi, mulai dari Ana Kidung Rumekso Ing Wengi… sampai Sumsumku Patimah linuwih… (bait 5); bait 6-10, berisi fadhilah dan keutamaan mewiridkan Kidung dalam bait 1-5, bila diwiridkan 20 kali sehari di malam hari dan keutamaan tirakatan 40 hari.
Sedangkan bait 11-28, berisi kidung dimulai dengan Ana Kidung Atembang Ngartati… (bait 11) sampai Siyang Ndalu Rinekseng Hyang Widhi… (bait 28); bait 29, berisi fadhilah mewiridkan kidung di bait 11-28; bait 30-37, berisi kidung yang dimulai dengan Ana kidung sun angidung wengi… (bait 30) sampai Yen lumampah ingkang wingwrin… (bait 37); bait 38, berisi fadhilah mewiridkan kidung di bait 30-37; bait 39-41, berisi kidung yang dimulai Ana kidung ing kadang maramarti… (bait 39) sampai Mangkya kadang ingsun kang umijil… (bait 41), yang bersisi sedulur papat limo pancer kakang kawah adi ari-ari; dan bait 42-44, berisi fadhilah kidung dan tatacara nylameti sedulur papat limo pancer kakang kawah adi ari-ari.
Jadi, Kidung Rumekso Ing Wengi itu memiliki beberapa kidung (kurang lebih 4 kidung inti) dan selainnya adalah penjelasan-penjelasan. Akan tetapi yang sering dipakai dan dikutip adalah bait 1-5.
Disusun di Kalijogo
Penyusun kidung ini, adalah Sunan Kalijaga, salah seorang anggota Dewan Wali Sanga yang di semua versi penyebutan sumber selalu disebutkan sebagai anggota. Sang Wali, dikenal sebagai peletak dasar Islam Jawa bersama mertuanya Syaikh Siti Jenar, Datuk Abdul Jalil, yang berakar di selatan bagian tengah pulau Jawa, dan menjadi guru dari para bangsawan Demak, Pajang dan Mataram Islam Jawa di periode awal.
Sunan Kalijogo ini berdarah Arab dan Jawa. Dia adalah menantu sekaligus murid dari Syaikh Siti Jenar, Datuk Abdul Jalil; sementara guru lainnya adalah Sunan Bonang. Dari Sunan Bonang, Sunan Kalijaga menerima tarekat Syathariyah; dan dari Syaikh Siti Jenar menerima tarekat Akmaliyah (Agus Sunyoto, Walisongo, hlm. 148).
Nama sang wali sering berganti-ganti, seperti disebutkan di bait 11 KRiW, yaitu Kyai Artati, Wisamarti, dan Ismail: “Siapa yang mengetahui namaku? Sewaktu aku berada di tanah datar dan sewaktu aku berada di gunung; Kyai Artati dan Wisamarti, berganti nama tiga kali, perbendaharaan dan daya kekuatan kata-kataku. Namaku ketika jejaka maka bernamakan Ismail, berada di tengah-tengah dunia.” Namanya yang lain, sebagaimana disebut Agus Sunyoto, ketika Sang Wali menjadi dalang, yaitu: Ki Dalang Seda Brangti, Ki Dalang Bengkok, Ki Dalang Kumendung, Ki Unehan (hlm. 145), dan Lokajaya (hlm 144).
Tempat penulisan kidung disebutkan di bagian bait ke-10, dengan menyebutkan ketika memberikan fadhilah dan keutamaan membaca kidung ini, lalu mengatakan begini: “Tumrah sanak rayatira. Saking sawabing ngilmu pangiket mami. Duk aneng Kalijaga” (bait 10). Artinya: “Bahkan memberkahi pada kerabat dekatnya. Lantaran sawabnya ilmu yang kususun sewaktu berada di Kalijaga.”
Nama Kalijaga ini, adalah tempat, yang menurut Babad Demak dan dikutip Agus Sunyoto (hlm. 144), adalah nama tempat di Cirebon, sebagai tempat untuk mengawali dakwahnya dengan menyamar ke Indramayu dan Pamanukan: “Raden Sahid kinon ngimani/ing Dermayu lan Manukan/ing Kalijogo pernahe.” Perjalanan ke Cirebon ini, ditafsirkan Agus Sunyoto, dalam rangka mengikuti Syaikh Siti Jenar Datuk Abdul Jalil.
Di Kalijogo ini diceritakan, Raden Sahid melakukan tirakat atau uzlah selam 3 bulan, sampai memperoleh pengalaman spiritual dan kedekatan dengan Gustine, dan memperoleh pengikut yang banyak. Di Kalijaga juga, diceritakan Babad Cerbon, Raden Sahid tinggal beberapa tahun di Desa Kalijaga, mulanya menyamar menjadi pembersih mesjid, hingga bertemu Sunan Gunungjati, dan menikah anak Syaikh Datuk Abdul Jalil, Syaikh Siti Jenar. Dari pernikahan ini, melahirkan Watiswara ( Sunan Panggung), dan 2 orang perempuan. Lalu dakwahnya berjalan ke timur sampai ke Majapahit, dengan media wayang dan berbagai kreativitas kebudayaan lain.
Strategi Memasukkan Nilai-Nilai Islam di Tengah Masyarakat
Di dalam KRiW, Sunan kalijaga menyebut Tuhan dengan Hyang Widdhi, Hyang Suksma, dan Pangeran. Akan tetapi sekali menggunakan kata dan memasukkan istilah rahmatullah (bait 35), merujuk kepada Alloh. Sekali menggunakan paduan Arab-Jawa, yaitu istilah, Qulhu Balik yang sakti, sehingga memperkenalkan dalam alam pikiran Jawa, istilah-istilah Islam bergandengan serasi dengan istilah yang sudah dulu berkembang di kalangan masyarakat Jawa. Tetapi secara umum KRiW, memakai bahasa Jawa.
Selebihnya beberapa kosakata Arab Islam yang dimasukkan dalam kidung, di antaranya istilah-istilah: Jin-setan (bait 1, 25, 29), iblis (bait 29); Malaikat, rusul, Adam, Sis, Musa (bait 3); Nafas, Yakub, Yusuf, Dawud, Sulaiman, Ibrahim, Idris, Sayyid Ali, Abu Bakar, Umar, Usman (bait 4); Siti Fathimah, Siti Aminah, Ayub, Muhammad, Nabi, Wali (bait 5, dan 29); Dzate, jimat (azimat) (bait 9); Insya Alloh, rayatiro (rakyat), dan ilmu (bait 10); Ismail (bait 11); Jibril, Ijrail, Israfil, Mikail, sabar (bait 25); Tuwajjuh (bait28); Malaikat Munkar, malaikat Nakir, rijal (bait 31); Ayat Kursi, Surat Amam (bait 32); Baitul Muqaddas, sayyidina Hamzah (bait 33); Rahmatullah, Rahmat, Wali Jasmani (bait 35); Sipat Rahman (bait 36); Makdum Sarpin (bait 43); dan doa majmu (bait 43).
Dengan memperkenalkan KRiW ini kepada murid-muridnya sebagai Kidung dan diwiridkan, Sunan Kalijogo termasuk wali yang memperbolehkan penggunaan bahasa lokal untuk memuji Alloh/dzikir.
Tuwajjuh Jroning Ati/Qalb
Sunan Kalijogo menyebutkan di bagian terakhir bait ke-28, dengan kata-kata “Kang ngasimpen tuwajuh jroning ati”, atau tersimpan sifat tawajjuh dalam hati. Kata ini adalah istilah teknis yang ada dalam tarekat, bermakna “menghadapkan diri kepada Alloh”. Dalam pengertian lain, menghadirkan cahaya Alloh dalam hatinya terus menerus. Istilah tuwajuh atau tawajjuh itu dalam sebagian tarekat dilakakukan dengan dzikir sirr, merasakan asma Alloh di dalam hati, yang menjadi wasilah cinta dan rindu kepada Alloh, sehingga ketika diijabahi, akan memperoleh limpahan-Nya berupa haibah, penglihatan batin dan pendengaran batin.
Hal ini dapat dimengerti karena Sunan Kalijaga, memperoleh pengajaran tarekat Akmaliyah dari Sunan Lemah Abang, Syaikh Datuk Abdul Dalil; dan Syathariyah dari Sunan Bonang. Akmaliyah yang dilakukan Syaikh Datuk Abdul Jalil, menurut kajian yang dilakukan salah seorang tokoh Akmaliyah, KH. Muhammad Sholihin, bersumber dari Syaikh Ahmad al-Ghazali, yang ke atas sampai kepada Imam al-Junaid al-Baghdadi, dan ke atas adalah Sirri as-Saqati, memperoleh dari Ma’ruf al-Karkhi, yang memperoleh dari dua cabang: dari Anas bin Malik dan Ali bin Abi Tholib (KH. Muhammad Sholihin, hlm. 295-297); dan jauga lewat jalur Muhammad Bahaudin an-Nasyabandi lewat Abdurrahman Jami, yang juga mewarisi Ibnu Arabi.
Dari sudut itu, dapat dikatakan kidung ini adalah buah dari laku tirakat tarekat yang telah dijalani Sunan Kalijogo, untuk dijadikan jimat dikalangan masyarakat Islam Jawa dalam menghadapi kehidupan saat itu, seperti dikatakannnya sendiri: “Saking sawabing ngilmu pangiket mami. Duk aneng Kalijaga” (bait 10), yang menunjukkan hasil tirakat itu, dapat mendatangkan sawab dan berkah. Korelasi isi Kidung dan fadhilahnya bagi sang pengamal, dengan kehidupan saat itu digambarkan dalam isi di bait-bait Kidung, yang mencerminkan tantangan yang dihadapi masyarakat Islam Jawa.
Oleh Sunan kalijaga dunia pada zamannya digambarkan banyak bencana, banyak makhluk ghaib jin setan, prewangan, tenung, hama, guna-guna, binatang buas, bisa hewan, dan mantra-mantra yang beredar. Ihtiar batin untuk menghindarinya agar memperoleh kebaikan, melawan dan menolaknya, adalah dengan Kidung ini, yang didalamnya memperkenal ingat menyatu dengan Hyang Widhi, Hyang Sukma, dan rahmatulloh; dengan wasilah para Nabi, para wali, untuk menjangkau kedekatan kepada Alloh dengan istilah “tuwajuh sajroning ati”; untuk menghidupkan hati menjangkau alam malakut dan Nur Muhammad.
Inti dari Kidung, menjelaskan soal perlunya kesadaran hati dengan tawajjuh kepada Alloh. Hal ini dipertegas lagi dengan penggunaan kata qalbu dalam rangkaian kidung ini beserta sabar dan nerimo, yaitu bait ke-27, yaitu ketika menjelasksan fungsi dan tugas malaikat Israfil: “Israpil dadi damar. Padang jroning kalbu.” Artinya: “Israfil menjadi lampu menerangi dalam kalbunya.” Penjelasan tentang qalbu disertakan bersamaan dengan penjelasan para malaikat lain, yang mengisyaratkan, telah dibukakannya sang pengarang Kidung ke dalam pintu-pintu alam malakut, lewat jalan kesadaran qalbu; sampai-sampai mengetahui tugas-tugas malakat yang disadari terus berlangsung.
Dalam dan dengan kesadaran qalbu itu, maka diketahui, menurut KRiW di bait ke-27: “jabarail ingkang animbali/mulaniro ketetepan iman/dadi angandel atine/ngijraile puniku/kang rumekso ing pati urip/israpil dadi damar/padhang jroning kalbu/Mingkail kang ngasung sandang/lawan pangan enggale katekan kapti/sabar lan anarima. Artinya: “Jibril yang memaggilnya/oleh karenanya dianugrahi iman/jadi pegangan hatinya/Ijrail itulah/yang memelihara hidup dan mati/Israfil menjadi lampu/menerangi dalam kalbunya/Mikail yang memberi makan/dan pakaian, segera tercapai kehendaknya/bersifat sabar dan nerima-tawakkal.”
Meski istilah qalbu banyak disebut Al-Qur’an, tetapi penggunaan teknis, dan penyelamannya banyak dibicarakan oleh ahli tasawuf dan ahli tarekat. Dalam kacamata Sunan Kalijaga, lewat kesadaran qalbu, disebutkan bahwa tugas-tugas malaikat itu masih terus berlangsung dan berhubungan dengan kita. Hal ini, juga berhubungan dengan penjelasan tentang “Sedulur papat limo pancer kakang kawah adi ari-ari”, yang telah menyatu dalam diri kita, dan disebutkan di bagian akhir rangkaian kidung ini.
Lewat kesadaran qalbu juga, malaikat-malaikat itu tetap berfungsi atas hidup kita menjalankan titah ilahi, yang dalam gambaran Sunan Kalijaga tadi, di bait ke-27 disebutkan begini: “Penjagaan para malaikat juga akan diberikan kepada orang-orang yang dilindungi Alloh dan dekat dengannya”; dan tercermin dari kalimat terakhir di bait ke-26: “Yang dikehendaki datang, Dan dijaga para malaikat”: “myang pangarasa/kang sedyo tumeko napi/pangreksaning malaikat.”
Penjangkaun terhadap alam malakut itu, menggambarkan dan menyiratkan penilikan ke dalam hati di mana tawajjuh harus dilakukan oleh seorang agar memperoleh kebahagiaan batin dan tersambung dengan Pangeran. Oleh karena itu, dengan KRiW ini, yang merupakan hasil rangkaian tirakat, mengajak orang untuk ingat kepada Alloh, menjangkau alam malaikat, bersambung dengan Nabi Muhammad yang disebut nabi terakhir oleh KRiW ini, menuju kebahagiaan lahir batin, dengan bahasa lokal dan campuran Islam-Arab.
Penggunaan tradisi lokal dan Arab, diperkuat dengan penggunaan istilah Qulhu Balik, tradisi ilmu yang dimulai wiridnya dengan Qulhu, lalu ditambah dengan kalimat-kalimat lain; ayat kursi dan hatinya surat Am`am, yang menyiratkan prengetahuan ma’rifat sang pengarang terhadap rahasia-rahasia Qulhu Balik, Ayat Kursi dan Surat Am`am, yang berinti pada “tuwajuh jroning ati.”
Dadya Sarira Tunggal
Ungkapan-ungkapan dalam bait kidung menandakan di dalam KRiW, bahwa kualitas-kualitas spiritual dari berbagai pertemuan ruhani, disebutkan telah masuk ke dalam diri Kanjeng Sunan, dengan mengatakan: “Sampun sangkep sakathahing nabi wali/dadya sarira tunggal”; “Telah lengkap tercakup dalam diriku segala nabi dan wali/telah manunggal pada diriku.” Ungkapan ini menjelaskan kualitas spiritual yang diraih dan dikhabarkan lewat sejenis Kidung.
Ketunggalan itu dalam KRiW tidak dihubungkan dengan Alloh sebagai Dzat, tetapi dengan segala nabi wali, dan orang-orang sholih, sampai pada Nabi sang penutup, dalam kata-kata yang lain: “Dudur mayengi ayyatul kursi/hatinya surat Am`am/pangleburan lara kabeh/usuk-usuk ing luhur/ingaranan telenging langit/nenggih Nabi Muhammad/kang wekasan iku/atunggal latri lan siyang.” Artinya: “Dudur landainya ayat kursi/lunggahe Hatinya surat al-An`am/penghancur segala penyakit/rusuk atapnya dinamkakan tengah langit/Dan Nabi Muhammad akhir para Nabi/mengawal siang dan malam.”
Hal itu menandakan para nabi wali, dan orang-orang sholih, sampai berakhir pada kanjeng Nabi Muhammad sang Nabi peutup, begitu disebut Sunan Kalijaga, menyatu dalam diri sang wali. Hanya saja bentuknya seperti apa tidak dijelaskan. Cukup dengan kata-kata “dadya sarira tunggal.” Penjelasan sosal ini dengan sendirinya harus mencari bantuan dalam penjelasan-penjelasan tarekat dan tasawuf, atau ilmu bathin dari para guru yang mengungkapkan itu; dengan menghubungkan kata dan istilah tuwajuh jroning ati, di dalam tradisi suluk Sunan kalijaga itu. Sebab tidak mungkin juga hal seperti itu diungkapkan dalam sebuah Kidung, yang dimaksudkan juga sebagai doa.
Hal yang hajat difahami kemudian adalah, orang bersuluk bisa dari dua jalan: salik dan majdzub. Salik menghendari wiridnya menuju tuwajjuh jroning ati, kepada dan bersama cahaya Alloh, yang secara teknis disebut wushul; dan majdzub yang dibukakan pada kapasitas wushul, lalu bersuluk dan berdzikir untuk membersihkan kalam-kalam dan penglihatan yang belum bisa manunggal. Hasil dari akhir keduanya adalah hidupnya hati sebagai wadah cahaya Alloh, yang memancar lewat Nur Muhammad, malaikat-malaikat, jin, dan sejenisnya dari keanekaragaman alam arwah, sampai hati bersih bisa menampung cahaya Alloh itu, yang bentuknya: pendengaran atas kalam di alam batin yang menjadi tunggal; dan penglihatan hati atas realitas batin di berbagai alam yang mencerminkan pengalaman spiritual.
Realisasi dari kalam di alam batin yang tunggal itu, berarti seseorang yang mengalaminya telah diberkahi dengan penyatuan kesaksian, di mana semua guru-guru di dalam rantai tarekat dan semua guru-guru yang dimintai berkah, menyatu kapasitasnya dan akan berakhir pada Nur Muhammad sebagai ujung pada rantai terakhir. Bila penyatuan ini diberkahkan Alloh kepada seseorang, maka seseorang akan hidup mendengar kalam yang konstan itu, yang hidupnya dan makananya adalah sholat daim/dzikir daim.
Dadya sarira tunggal, menghantarkan ia menjadi manusia yang telah mati tetapi hidup, hidup tapi mati; manusia batin tetapi dhahir, manusia dhahir tetapi juga batin; menyatu dengan malakut tetapi juga alam ajsam; beralam ajsam, tetapi juga beralam malakut. Dialah insan kamil, yang menjadi realisasi sifat, asma dan perbuatan kamal dan jalal Tuhan. Sunan Kalijaga dengan kapasitas-kapasitas spiritualnya, telah memberi kode itu dengan ungkapan dadya sarira tunggal, yang telah menyatu dalam dirinya.
Gambaran kalam tunggal konstan tetapi halus muncul dalam hati kita itu, seorang guru mengatakan kepada saya begini: “Aku Syaikh Abdul Qodir Jailani, Aku Habib Abdulloh, aku Abu Hamid al-Ghazali, aku Syaikh Abdullah Syathari, Aku juga Muhammad nabiyulloh, Aku ingsun sejatimu, aku jibril, aku mikail, aku israfil, aku ijrail, aku semuanya. Akulah wasilah memberi sakit, aku yang menjadi wasilah menyembuhkan, dan begitu seterusnya. Aku bukan Alloh, aku adalah Nur Muhammad.”
Suluk dengan Ngalap Berkah
Dalam bait ke-10 ada kata-kata begini: “Saking sawabing ngilmu pangiket mami”, menunjukkan ungkapan tentang kegunaan dan fadhilah dari Kidung ini bagi yang membaca dan mewiridkannya. Kegunaan itu disebutkan dalam bait-bait berikutnya, yaitu bait ke-10: “Barang siapa membaca, mendengar, dan menulis, serta menyimpan kidung ini, dirinya akan tampak bagus, bisa untuk memberi jampi-mantera. Bila hendak baca dan dihembuskan di air, untuk mandi, orang sakit jadi sembuh. Orang tua tampak muda, jejaka lekas dapat jodoh, orang gila menjadi sembuh gilanya” (bait ke-6).
“Bila ingin menanam padi hendaklah puasa dulu sehari semalam, putarilah pematangnya sambil membaca kidung ini, tentu tak ada hamba yang mendekat. Bila anda akan pergi berperang bacakan dan hembuskan pada nasi dan santapan, yang makan nasi itu akan dilindungi Tuhan dan selamat di medan laga” (bait ke-7).
“Bila Anda tidak dapat membacanya, gulunglah untuk azimat, akan mendapatkan keselamatan. Bawalah azimat itu ke medan laga, musuh tak akan melihatmu, segala senjata tak bisa mengenai anda, Itulah kasiyatnya. Semua perbuatan anda dilindungi Tuhan, yang menderita sakit jadi sembuh” (bait ke-8).
“Apabila ada orang ditawan, dan orang yang dihukum denda, serta terbeban banyak hutang, juga orang menderita sakit, bacakan kidung ini dan diulang-ulang sebanyak duapuluh kali. Insya Alloh yang ditawan akan dibebaskan, yang dihukum denda batal hukumannya, segala kesalahannya diampuni. Yang punya hutang akan dibayar oleh Tuhan, dan yang menderita sakit akan segera sembuh” (baik ke-9)
“Barangsiapa ingin menjalani tirakatan (topo), harap berpuasa mutih (makan tanpa garam), terus menerus empat puluh hari saja, bangun sewaktu subuh, berlaku sabar dan bersyukur dalam hati, insya Alloh terkabul segala yang dikehendakinya. Bahkan memberkahi pada kerabat dekatnya, lantaran sawabnya ilmu yang kususun sewaktu aku berada di Kalijaga” (10).
Dalam bait terakhir di atas ada penggunaan kata “Insya Alloh tinekan/Sakakrsanireku/Tumrah sanak rakyatiro/Saking Sawabing Ngilmu pengiket mami/Duk aneng Kalijogo” (bait 10). Dalam kata-kata itu, meski sebelumnya telah membicarakan Hyang widhi, para Nabi wali, malaikat, tetap diakhiri dengan kerendahan hati: Insya Alloh, semua tetap dikembalikan kepada Alloh.
Penggunaan kata sawab, dan yang mewiridkan atau ngrapal setiap hari akan mendapat sawabnya adalah, pengakuan Sang Sunan Kalijogo, bahwa KRiW bisa memberkahi bagi yang membacanya, menujukkan diterimanya dan dijelaskannya sebagai teori sawab atau nyawabi, mberkahi, bisa menjadi jalan memperoleh penglaman spiritual. Hal ini di dalam laku suluk, menggambarkan adanya sejenis laku yang mengaggap penting ngalap berkah, dengan perantaraan usaha-usaha tirakat yang dilakukan orang sholih. Bentukanya bisa nyarkub; silaturahmi kepada orang-orang tua dan guru-guru memohon doa; dan sejenisnya. Akan tetapi ngalap berkah sebagai jalan, selalu tidak berdiri sendiri, selalu dibarengi dengan wirid yang dilakoni sang salik.
Maka, membaca KRiW, menjadi penting bukan hanya kandungan kidungnya yang perlu diresapi untuk mempertebal iman dan percaya kepada Alloh, tetapi juga ngalap berkah dari tirakat yang dilakukan Sunan Kalijaga; atau ngalap berkah dari kemuliaan Sunan Kalijogo yang dekat dengan Alloh, agar apa yang diminta bisa terkabul. Semua akhirnya dikembalikan kepada Alloh, sampai-sampai Sunan Kalijogo menggarisbawahi dengan “Insya Alloh” (bait 10) dan “Pan rinaksa dening Hyang Kang Maha Suci/Semua perbuatan anda dilindungi Tuhan.” Semua dikembalikan kepada Alloh.
Terakhir, soal teknis, tapi penting, di dalam teks kutipan kidung KRiW tidak ada ungkapan “Kadi Kapuk Tibaning Wesi”, setelah Wedi asih pandulune, yaitu di bait ke-2, tetapi di beberapa kutipan yang beredar di internet, ada ungkapan itu. Kutipan-kutipan di internet yang beredar begini: “Welas asih pandulune/Sakehing brojoluput/Kadi kapuk tibaning wesi/Sakehing Wisa Tawa.” Sementara dalam bait di atas bait-baitnya berbunyi: “Wedi asih pandulune/Sakehing braja luput/Kira-kira pan wusakalir/Salwiring wisa tawa.” Wallahu a’lam.
Nur Kholik Ridwan
Lampiran Kidung Rumekso Ing Wengi, berdasarkan transliterasi latin dari Nancy K. Florida dari bait 1-5:
Ana Kidung rumeksa ing wengi
Teguh Hayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tenung tan wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Agni atemahan tirta
Maling ngadoh tan ana ngarah ing kami
Tuju duduk pan sirna
Sagung pancabaya pan samya bali
Sakathahing ngama amiruda
Wedi asih pandulune
Sakehing braja luput
Kira-kira pan wusakalir
Salwir ing wisa tawa
Sato krodha tutut
Kayu aheng lemah sangar
Songing landak guwaning wong lemah miring
Pakikipon ing merak
Pagupakaning warak sakalir
Nadyan ardha myang segara alas
Temahan rahayu kabeh
Sarwa sarira ayu
Ing ideran ing widadari
Rinekseng malaikat
Sakathahing rusul
Pan dadya sarira tunggal
Ati adam utekku baginda Sis
Pangucapku ya Musa
Napasku Nabi ngisa linuwih
Nabi Yakub Pmyarsaning wang
Yusup ing rupaku reke
Nabi Dawud Swaraku
Jeng Suleman kasekten mami
Ibrahim kang nganyawa
Idris ing rambutku
Sayid Ngali kuliting wang
Abu Bakar getih daging ngumar Singgih
Balung Baginda Ngusman
Sungsumku Patimah kang linuwih
Aminah kang babayuning ngangga
Ayub minangka ususe
Sakeh ing wulu tuwuh
Ing sarira tunggal lan nabi
Cahyaku ya Muhammad
Panduluku rasul
Pinayungan ngadam sarab
Sampun sangkep sakathahing nabi wali
Dadya sarira tungga
Sekian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar